Minggu, 19 April 2015

Hukum Perjanjian (Kontrak)

Nama : Hafiyya Shabrina (23213833)
Kelas : 2EB15

HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

                Kontrak atau contracts (dalam bahasa inggris) dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah Peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.

                Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiabn untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hokum yang disebut perikatan (verbintenis).
                Hukum kontrak (contract of law) memiliki beberapa asas di dalam pelaksanaannya. Sebagian dari kita pasti sudah sering mendengar dan tidak asing lagi dengan asas-asas tersebut. Beberapa asas dalam hukum kontrak dimaksud yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), dan asas itikad baik. Berikut akan dipaparkan secara singkat mengenai masing-masing asas tersebut.
  • 1.       Konsensualisme

           Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan.
Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak, artinya :apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini        dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya: “setuju”, “accord”, “oke” dan lain-lain sebagainyaataupun dengan bersama-sama manaruh  tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah  pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
                Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah “sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa       yang mereka kehendaki adalah “sama dalam kebalikannya”, misalnya : yang satu ingin   melepaskan hak miliknya atas suatu barang  asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai   gantinya, sedangkan yanglain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia                 memberikan sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada pemilik barang.
                Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa hukum perjanjian B.W. menganut asas   konsensualise itu? Menurut pendapat kami, asas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320,   yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal            1338 (1) sepertidiajarkan oleh beberapa penulis. Bahkan oleh pasal 1338 (1) yang berbunyi :     “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang           membuatnya” itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang.
                Pengecualian “Asas Konsensual”
                Ada yang dinamakan perjanjian-perjanjian “ formal” atau pula yang dinamakan perjanjian “riil” itu merupakan kekecualian. Perjanjian formal adalah misalnya perjanjian “perdamaian” yang    menurut pasal 1851 (2) B.W. harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka ia tidak sah),     sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian “pinjam-pakai” yang menurut pasal 1740 baru                 tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyeknya atau perjanjian “penitipan” yang                   menurut pasal 1694 baru terjadi dengan diserahkannya barang yang dititipkan. Untuk    perjanjian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi disamping itu    diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata (riil).

  • 2.       Pacta Sunt Servanda

      Pacta Sunt Servanda (aggrements must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan   perjanjian.     Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan  harus dilaksanakan dengan itikad baik).

       Pacta sunt Servanda pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari  dasar pada sebuah hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat. Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji tersebut (promissorum implendorum obligati).

                Menurut Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan, yaitu :
Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan
Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.

  • 3. Kebebasan Berkontrak

             
   Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang dari sistem hukum perdata, khususnya hukum perikatan yang diatur Buku III KUHPerdata. Bahkan menurut Rutten, hukum perdata, khususnya hukum perjanjian, seluruhnya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak yang dianut hukumIndonesia tidak lepas kaitannya dengan Sistem Terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata merupakan hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan oleh para pihak yang membuat perjanjian.
                Dengan asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang dikenal dalam Perjanjian Bernama dan isinya menyimpang dari Perjanjian Bernama yang diatur oleh undang-undang.
Sutan Remy Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak sebagai berikut:
o   kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
o   kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;
o   kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;
o   kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;
o   kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian
o   kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional).
                Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem huk perjanjian di negara-negara lain dan memiliki ruang lingkup yang sama.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang

Jadi , Kesimpulannya :
Asas Kebebasan Berkontrak
                Asas kebebasan berkontrak terdapat pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak ini, maka kepada para pihak diberikan kebebasan sebagai berikut :
·         Membuat atau tidak membuat perjanjian;
·         Memilih akan mengadakan / membuat perjanjian dengan pihak yang diinginkan;
·         Menentukan isi, pelaksanaan, dan persyaratan perjanjian;
·         Menentukan bentuk perjanjian yang akan dibuat, apakah dalam bentuk tertulis atau lisan;

Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
asas kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang tidak terbatas, akan tetapi terbatas oleh tanggungjawab para pihak, dan dibatasi oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak.

3.       Asas Konsensualisme
                Asas ini menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi dapat cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan menunjukkan adanya persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh para pihak. Asas konsensualisme ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata, yaitu bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Mengenai kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian telah saya bahas dalam 2 (dua) tulisan sebelumnya, yaitu Kesepakatan Dalam Perjanjian dan Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian.

3.  Asas Pacta Sunt Servanda
                Asas pacta sunt servanda merupakan asas yang menunjukkan kepastian hukum. Dengan adanya asas ini maka kesekapakatan yang terjadi di antara para pihak mengikat selayaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga juga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak dan tidak boleh melakukan intervensi terhadap isi kontrak yang dibuat tersebut. Asas ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Sumber:
https://hukumperdataalfa.wordpress.com/2009/12/09/apa-yang-dinamakan-%E2%80%9Ckonsensualisme%E2%80%9D-itu/

http://rechtstat.blogspot.com/2011/01/asas-kebebasan-berkontrak-dan-batas.html
http://ngobrolinhukum.com/2014/06/27/beberapa-asas-hukum-kontrak/
http://www.jurnalhukum.com/asas-asas-perjanjian/

https://dukunhukum.wordpress.com/2012/04/09/asas-asas-kontrak-perjanjian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar